JAMBU BIJI
Jam tangan saya menunjukkan posisi 13.55, artinya sudah 55 menit saya menjaga ujian akhir semester ini. Masih 65 menit lagi dan saya mulai bosan. Sementara mahasiswa sibuk mengerjakan soal ujian spektroskopi dan tidak ada seorangpun yang berusaha untuk bertindak curang. Saya lantas beranjak ke belakang ke jendela kaca, mencari pemandangan lain untuk mengusir rasa bosan. Kampus tampak sepi, hanya beberapa orang mahasiswa yang melintas. Dari lantai dua ini saya bisa mengamati mereka berjalan ke arah tempat parkir. Saya coba melihat HP tapi tidak ada satupun sms masuk, pasti semua orang sibuk pada jam segini. Saya tetap memandang keluar jendela dan mata saya tertuju pada deretan pepohonan disamping gedung B ini, rupanya ada pohon jambu biji. Seingat saya ini bukan kali pertama saya mengamati pohon jambu itu. Masih seperti waktu-waktu sebelumnya, pohon itu tidak pernah memperlihatkan buahnya yang matang. Mata saya terus menyelidik, siapa tau diantara daun-daunnya yang lebat tersembunyi jambu biji yang matang. Rupanya tidak ada, daun yang lebat itu tidak sebanding dengan buah yang dihasilkan, jambunya kecil-kecil, terlihat sangat mentah, sejenis jambu biji yang tidak enak dimakan. Pohonnyapun terlihat tidak pernah dipanjat, mungkin memang buahnya tidak enak.
Sepanjang saya tumbuh dewasa, buah jambu biji menyimpan kenangan yang sangat dalam. Di dekat rumah kami ada tetangga yang memiliki pohon jambu biji. Pohonnya tinggi besar (setidaknya untuk anak keas 4 SD, pohon itu sangat besar). Pohon jambu biji itu memiliki banyak cabang sehingga mudah dipanjat. Buahnya enak, manis dan besar. Berkali-kali ayah saya memperingatkan supaya saya berhenti memanjat pohon itu, tapi saya punya banyak waktu untuk nangkring di atasnya sebelum ayah saya pulang kantor. Asyik sekali duduk diketinggian sambil makan jambu biji, tak ada temanpun tak ada masalah. Tapi suatu kali saya kapok juga, karena meski tomboy saya ini takut setengah mati dengan ulat, apalagi ulat bulu. Di ketinggian ketika saya memanjat naik, dari atas seekor ulat bulu berwarna coklat dan berukuran besar, berjalan cepat kearah saya. Bulu-bulunya yang lebat melambai-lambai seiring dengan gerakan kakinya yang berderap, menimbulkan kengerian yang luar biasa. Saya terperanjat dan sontak berusaha menjauh, tapi saya malah merosot dengan cepat ke bawah. Saya mendarat di tanah dengan kulit lecet-lecet karena tersangkut ranting-ranting pohon. Sejak saat itu saya memutuskan untuk cuti naik pohon jambu sampai saya yakin benar musim ulat bulu telah lewat.
Tetangga sebelah rumah persis juga memiliki pohon jambu. Yang ini buahnya sangat spesial, manis, empuk, banyak air dan tidak banyak bijinya. Pohonnya tidak terlalu tinggi hanya posisinya persis didepan rumah. Dengan pohon ini saya hanya bisa meraih buah jambu pada dahan yang menjulur ke jalan, tidak mungkin masuk ke pekarangan tanpa ijin apalagi memanjat pohon yang penuh dengan buah yang matang itu. Suatu kali bersama anak-anak yang lain saya berusaha mengambil jambu biji yang dahannya hamper patah, kami berebut ramai sekali. Tiba-tiba dari dalam pekarangan terdengar suara “Kuberi uang saja biar kalian bisa beli jambu tapi jangan ambil jambu dari pohon itu lagi..!!” Rupanya anak pemilik rumah tau aksi kami. Kalimatnya terdengar sangat pongah. Memang mereka termasuk keluarga yang berada tapi anak kecilpun tahu kalau jambu biji sepohon itu tidak akan habis hanya karena kami mengambil beberapa buah dari dahan yang hampir patah itu. Tak lama kemudian pohon jambu itu ditebang dan tentu saja banyak yang merasa kehilangan, terutama saya…
Waktu SD itu saya memiliki seorang teman bernama Emy. Anaknya kecil, kulitnya putih dan rambut panjangnya selalu dikepang. Dia sering bilang ‘Ibuku pasti senang sekali kalau punya anak kamu..” sampai suatu saat saya tanyakan padanya “Kenapa.?” Emy menjawab “Karena tulisanmu bagus..” Saat itu saya berpikir apa bagusnya tulisan saya? Tulisan Emy besar-besar dan tebal, lebih jelas bila dibaca, saya tidak bisa menulis seperti itu. Lantas saya bilang ke Emy “Ibuku pasti juga senang punya anak kamu, kamu rajin beres-beres kamar, rajin bantu pekerjaan di rumah dan selalu mengasuh adik-adikmu” Memang Emy sangat rajin. Pulang sekolah langsung ganti baju, memasak nasi, beresi rumah bahkan mencuci baju. Semua dilakukan dengan tingkat ketrampilan yang tinggi dan cekatan. Emy juga mengurusi dua adiknya yang masih kecil, sementara ibunya bekerja di pabrik tekstil dan ayahnya entah dimana.
Emy mempunyai kakek, seorang pensiunan yang tinggal cukup jauh dari kontrakan Emy. Emy sering mengajak saya berkunjung ke rumah kakeknya itu. Rumahnya besar, penuh dengan perabotan kayu yang klasik. Kakek Emy tinggal sendiri, saya heran kenapa Emy tidak pindah ke rumah itu saja. Kontrakan Emy kecil, praktis keluarganya hanya menempati 1 kamar saja, mana pemilik rumahnya cerewet sekali.. Kalau diamati, apa yang dilakukan Emy setiap kali datang ke rumah kakeknya seperti berpola. Dia masuk rumah, cium tangan kakeknya, beres-beres rumah, cuci piring, menyapu, baru kemudian Emy akan berbincang denga kakeknya. Emy akan bercerita kalo salah satu adiknya sakit, ibunya sudah beberapa hari tidak bekerja karena sedang sakit juga. Uppss.. bukannya mereka baik-baik saja.?? Kenapa dibilang sakit.? Ternyata setelah itu kakek Emy memberi uang dan kami pulang. Oya, kalau datang ke rumah itu kami selalu masuk dari pintu belakang, entah apa alasannya. Kami berputar-putar melewati gang-gang sempit, disela-sela rumah orang baru sampai ke halaman belakang rumah kakek Emy. Padahal kalau lewat depan aksesnya sangat mudah dan lebih cepat sampai. Tapi tidak masalah buat saya karena di kebun belakang itu ada pohon jambu biji dengan buahnya yang sangat banyak. Kalau Emy mulai beres-beres rumah, saya menungguinya di halaman belakang, tentu saja sambil menikmati buah jambu biji.. Dan besok-besok, kalau Emy perlu uang, saya pasti siap menemaninya..!! Karena jambu bijinya enak…
Setelah makin besar saya tidak pernah naik pohon lagi, bukan karena insyaf tapi karena pohon-pohon jambu disekitar rumah saya habis ditebang dan Emy selepas SD pindah kontrakan. Soal kecintaan pada jambu biji tidak menjadi masalah karena bapak menanam pohon jambu Bangkok, buahnya besar-besar dan sangat enak. Sayangnya pohon itupun akhirnya ikut ditebang karena buahnya mulai tidak berkualitas lagi dan banyak ulat bulunya. Disaat bersamaan saya mulai sibuk sekolah dan kemudian kuliah di luar kota. Singkatnya saya melupakan jambu biji.
Rupanya cinta itu masih ada di dalam hati. Saya sudah menjadi dosen ketika tiba-tiba saya teringat pada jambu biji dan begitu terobsesi. Saya sedih karena tidak menjumpai lagi pohon jambu biji. Kemanapun saya pergi, saya selalu mengamat-amati siapa tau masih ada pohon jambu biji dengan buahnya yang sangat banyak. Suatu kali dalam perjalanan bolak-balik Semarang – Cepu menggunakan kereta, saya coba menyelidik apakah masih ada pohon jambu biji disepanjang rute tersebut, ternyata tidak ada. Kemana pohon-pohon itu?
Akhirnya seorang teman tahu kalau saya sangat ingin makan jambu biji, dia bilang ditoko ADA swalayan besar di kota kami sering tersedia buah jambu. Akhirnya saya mulai mengalihkan pencarian ke toko-toko swalayan sepertu ADA, Hypermart, Gelael, Ramayana, tapi semuanya tidak menjual jambu. Ketika berjalan-jalan sendiri di Citraland dan melintas Gelael, saya melihat dari jauh tumpukan buah-buahan yang ditata rapi, ada yang berwana hijau muda, segar, berbentuk bulat dan otak saya langsung mengidentifikasi, JAMBU BIJI..!! Saya lantas berlari masuk ke toko itu dan langsung menuju counter buah, dan ternyata yang saya lihat adalah peer Shanghai bukan jambu biji… Saya nelangsa sekali, begitu rindunya saya pada jambu biji tapi pencarian saya tidak membuahkan hasil.
Saya mulai menyerah dengan pencarian jambu biji dan ada yang cukup menarik perhatian, piala dunia 2006. Piala dunia kali itu sangat special karena diselenggarakan di jerman dan lepas even selesai saya akan berkunjung kesana..! Tentu saja saya menjagokan Jerman yang saat itu masuk babak final. Sayang sekali saya harus melewatkan salah satu pertandingan tim Jerman karena saya harus ke Jakarta dengan kereta api. Perkembangan pertandingan hanya bisa saya ikuti via sms. Sampailah kereta saya di Stasiun Gambir, disitu seorang sahabat telah menanti. Begitu saya berada dihadapannya, dia sodorkan Koran Bola dan minuman kotak jus jambu biji. Minuman itu membuat saya terperangah, pikir sahabat saya “gak ada buahnya, jusnyapun jadi..” Tapi saya menginginkan buahnya, hikksss…
Sayapun berhenti berusaha mencari jambu biji. Tapi rupanya upaya pencarian jambu biji telah tersebar kemana-mana dan didengar oleh seorang mahasiswa. Suatu hari dia datang keruang kerja saya dengan membawakan 3 buah jambu biji Bangkok yang sangat besar. Girang bukan kepalang..!! The best moment in my life ketika jambu-jambu itu ada ditangan saya..!! Pastinya itulah jambu biji terenak yang pernah saya makan seumur hidup..! Kulit dagingnya tebal, bagian dalamnya warnanya putih segar dan sangat manis. Kata mahasiswa saya tadi “besok lagi kalo ibu kepengen jambu biji, bilang saja ke saya.. di rumah saya banyak..” Pencarian panjang yang berujung indah..
"Ibu, hasil ujian dikumpulkan dimana..?".. Uppss, mahasiswa sudah selesai mengerjakan ujian. Ah, saya mengenang jambu biji sampai tidak tahu kalau waktu ujian sudah habis. Saya melihat sekali lagi ke pohon jambu biji di samping Gedung B itu, masih berharap suatu saat akan menemukan buahnya yang matang.. "Oke waktu habis, saudara bisa kumpulkan hasil ujian sekarang.."