Saya sedang membaca Reaching for the invisible God ketika sebuah pesan dari seorang teman masuk ke HP saya, isinya singkat, ”pernah tidak merasa enggan pergi ke gereja?” Saya tersenyum membacanya dan dengan yakin saya jawab, ”bukan pernah lagi, sangat sering..!” Saya cukup mengenal teman saya ini dan banyak kagum dengannya. Beberapa kenangan masih saya rekam baik-baik meski kami tidak pernah berjumpa lagi. Dia adalah perempuan muda yang ceria dan penuh semangat. Kehadirannya membawa kegembiraan dengan candaannya yang segar. Saya salut padanya karena tidak pernah mendapati dia mengeluh meskipun dia tidak bisa menyembunyikan rasa sakitnya ketika diserang virus rubela dan CMV. Salah seorang teman kami meninggal dunia karena virus tersebut. Disaat dia berjuang dengan sakitnya, teman prianya meninggalkan dia untuk berpacaran dengan sahabatnya sendiri. Tak lama kemudian mamanya terserang kanker dan akhirnya dipanggil Tuhan. Belum habis sampai disitu, dia jatuh dikamar mandi dan mengalami cedera tulang punggung. Saya sedih ketika mendengar dari orang lain dia tidak lagi menjadi staf di sebuah lembaga pelayanan, saya tahu keputusan itu tidak mudah untuknya. Bagi saya, keberadaan dia di lembaga tersebut memberi spirit tersendiri. Waktu saya coba tanyakan kedia tentang berita tersebut, kali itupun dia masih bisa bercerita dengan tegar. Saya menjadi salah satu orang yang berbahagia ketika dia menikah meski tidak dapat menghadiri acara pernikahannya. Tapi persoalan hidup tak lepas darinya. Dua hari lalu dia bercerita kalau sudah dua kali mengalami keguguran. Saya hanya bisa bergumam, “Oh.. my Godddd..!” Hari ini saya menangkap nada mengeluh dalam pesannya, “hidupku kog hanya seperti ini saja..” Saya menjawab pesan itu “Pergilah ke gereja, siapa tau kamu mendapatkan jawaban atas pertanyaanmu itu. Nanti sesudah kamu pulang gereja, kita bicara lagi.”
Sepanjang masa-masa pergumulan, terkadang saya ingin sekali berdiri di atas puncak gunung yang sangat tinggi dan tak jarang saya ingin bersujud sampai muka menyentuh lantai. Dilain waktu saya ingin menghabiskan waktu seharian dibukit doa tapi pernah juga saya ingin membenturkan tubuh pada dinding. Ada saat dimana saya berjalan dengan tegak tapi saya bisa sangat ciut beberapa saat kemudian. Saya frustasi, berusaha memahami Allah tapi tidak mendapatkan kelegaan. Dengan berdiri di puncak gunung yang tinggi mungkin saya lebih bisa mendengar suaraNya atau merendahkan diri serendah-rendahNya mungkin akan membuat Allah berkenan. Siapa tau kesombongan sayalah yang membuat Allah tidak mau memperdulikan saya. Mengkhususkan waktu seharian berdoa ditempat yang hening, mungkin bisa membuat saya fokus pada Allah dan bukan diri saya sendiri. Saya berusaha bertahan, tapi kesabaran saya hilang dan saya menjadi sangat marah karena tak juga mengerti, sampai saya ingin melemparkan tubuh ke dinding. Sedikit pengertian memberi bahan bakar sehingga api saya menyala lagi, tapi ternyata tidak berlangsung lama. Saya surut, saya mundur teratur sebagai pecundang dalam upaya memahami kenyataan hidup dari sudut iman percaya saya.
Perempuan muda teman saya itu akhirnya pertahanannya runtuh juga. Bergelut dengan rasa sakit yang tak kunjung usai, berbenturan dengan doa-doa yang tak terjawab, diapun merasa bosan. Sebuah pesan masuk lagi ke HP saya. Dari seorang teman diujung timur Indonesia. Dia tidak bisa tidur, jadi dia menggoda saya dengan mengirimkan cerita-cerita lucu khas papua yang biasa disebut mob. Beberapa cerita sangat lucu sampai saya tertawa terus bila mengingatnya. Ada juga cerita yang membuat saya tersenyum kecut.
Pace 1 mabuk parah..
Dia ikut antri di sungai Nil untuk dibaptis.
Pas tiba giliran pace, pastor celup pace pung kepala ke dalam air..
Lalu dengan jengkel pastor bertanya kepada pace :
‘Sudahkan anda menemukan Yesus ??’
Jawab pace : ‘belum bapa..’
Pastor celup pace punya kepala lagi, tapi kali ini lebih lama dan kembali bertanya :
’apakah anda sudah menemukan Yesus??’
Dengan nafas satu-satu pace bilang:
‘apakah pastor yakin Yesus tenggelam di sekitar sini kah.. ???’
Pagi tadi di gereja pendeta berkotbah tentang Allah yang hidup dan masih terus berkarya. Lantas mengapa tanda-tanda kehidupannya sulit dirasakan? Orang-orang yang baik dan mencintai Tuhan dengan tulus dibiarkan menderita. Perjalanan hidup ditempuh dengan jalan yang berliku dan jatuh bangun. Kalau Allah menciptakan dunia ini sedemikian rupa sehingga kompatibel untuk didiami manusia, mengapa kehidupan tidak lantas menjadi mudah?
Kembali pada buku yang sedang saya baca. Entah sebelumnya berapa kali saya sudah membacanya tapi membacanya lagi ternyata tidaklah mudah. Pada bagian awal buku, saya seperti memasuki labirin, saya bingung dan frustasi karena saya tidak tahu posisi saya berpijak. Mengapa saya seperti ini? Buku ini saya baca ulang dalam keadaan saya bergumul dengan upaya untuk mencari Tuhan yang tidak terlihat. Semua fakta yang dipertontonkan Yancey di awal buku, seperti berbicara tentang diri saya. Dihalaman 1, Yancey menuliskan ayat yang diambil dari Yeremia 9 :23-24 sebagai pembuka bukunya. Dan kalau anda melihat perjalanan hari pertama saya (journey day 1), saya mengutip Yeremia 9 :24 sebagai tujuan akhir yang saya tetapkan ketika memulai perjalanan ini. Disini saya berhenti, saya tidak bisa memahami Allah tapi rupanya saya bisa merasakan kehadiranNya dari peristiwa-peristiwa yang terangkai hari ini. Sayapun berangkat tidur dengan kepala sedikit pusing.
Segera ayah anak itu berteriak: "Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!" (Markus 9:24)