Selasa, 14 Juni 2011

Journey, day 23

Hari yang baik dimulai dengan sarapan yang baik dan musik yang baik. Segelas jus pepaya-mangga dimix dengan yogurt membawa saya duduk dihadapan notebook yang sudah menyala sejak saya bangun tadi. Kali ini ditemani oleh The kings of convenience dengan lagu-lagunya yang lembut dan ringan. Tak terasa ternyata sudah seminggu saya tidak menulis. Kristalografi, puding nata, XRD, SEM-EDS, kalsium karbonat, konsultasi mahasiswa dan jurnal-jurnal penelitian telah mengalihkan perhatian. Banyak kejadian yang bisa diulas dan dituangkan dalam tulisan. Hhmm.. apa saja ya..?

Dua hari lalu seorang sahabat mengirimkan ucapan selamat merayakan hari pentakosta. Saya tersenyum membacanya, selain karena sms itu adalah satu-satunya ucapan yang saya terima, juga karena saya tidak begitu merasakan greget hari pentakosta kali ini. Hari yang sangat bersejarah, hari ketika Roh Kudus dicurahkan. Saya jadi ingat kotbah di gereja yang membahas tentang karunia-karunia roh. Salah satunya adalah karunia berbahasa roh, tapi sayangnya pengkotbah yang nampak sangat berbangga karena karunia bahasa roh yang dia miliki itu, tidak mampu menjelaskan bagian selanjutnya yang berbicara tentang karunia menterjemahkan bahasa roh. Sepanjang saya hidup tidak pernah sekalipun saya melihat ada orang yang memiliki karunia itu meski sering melihat orang mengaku sedang berbahasa roh. Kalaupun ada, siapa yang berani menjamin bahwa hasil terjemahannya benar? Di atas mimbar kita mewakili Tuhan dan berbicara tentang Firman Tuhan, kalau kita tidak berani checking semua kata yang kita ucapkan dan berani mempertanggungjawabkannya dihadapan Tuhan dan jemaat, you better to shut up..! Pesan Pulus kepada muridnya Timotius, ”Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau. ” (1 Timotius 4:16)

Saya menutup hari minggu itu dengan gembira karena saya mendapatkan hadiah. Sahabat saya tadi mengirim pesan yang lain, ”I have found your treasure.. Just give me your address and the treasure will deliver to your palace.” Masa-masa ketika saya bingung dengan sesuatu atau ingin tau lebih jauh, saya pasti membaca buku. Buku telah menjadi sahabat setia untuk saya. Meski saya juga mengalami suatu saat dimana saya muak dengan semua buku dan memilih tidak membaca sama sekali. Saya membaca, berpikir dan menganalisa untuk kemudian menarik pelajaran. Banyak buku mengubah hidup saya seperti “what’s so amazing about grace”, “purpose driven life”, “praying God’s word” dan masih banyak lagi. Karena banyak membaca, saya jadi tahu penulis-penulis bagus, seperti Philip Yancey, Henri Nouwen, C.S Lewis, Yohan Candawasa, John Mawell, dan tentu masih banyak yang lain. Satu buku yang kemudian diberi istilah treasure oleh sahabat saya adalah buku karya Philip Yancey berjudul reaching for the invisible God. Dua buah kursi kayu sederhana berlatar langit berawan menjadi cover buku itu. Semoga anda penasaran dan ingin membacanya juga. Buku saya itu hilang dan bertahun saya mencarinya tapi tidak ada lagi di toko buku sementara saya sangat ingin membacanya. Sahabat saya merelakan diri menjelajah toko demi toko di Jakarta dan akhirnya menemukannya di sebuah toko kecil, satu-satunya yang masih ada di toko itu.

Saya mungkin bisa membeli puluhan buku serupa (kalaulah buku itu masih dicetak ulang dan masih ada yang mau menjualnya) tapi saya tidak bisa membeli persahabatan. Seorang teman mengirim pesan singkat, “Apakabar? Sudah lama kita tidak mengobrol.” Saya jawab pesan itu dengan kalimat “Kabar baik, aku selalu mengingatmu tapi aku nggak tau apakah kamu juga mengingatku?” Dari kalimat saya tadi tersirat kalau saya ini merasa dilupakan.. Berapa banyak sahabat yang masih bisa saya pertahankan? Tak banyak. Biasanya saya menarik diri ketika merasa tidak dibutuhkan lagi. Jangan-jangan sebenarnya selama ini saya tidak benar-benar dibutuhkan ya? Persahabatan adalah upaya timbal-balik dari dua pihak. Ketika upaya itu hanya sepihak, maka masih bisakah disebut persahabatan?       
 
Khalil Gibran menuliskan,
Sahabat adalah kebutuhan jiwamu yang terpenuhi..
Dialah ladang hati yang dengan kasih kau taburi
dan kau pungut buahnya penuh rasa terimakasih.
Kau menghampirinya dikala hati gersang kelaparan,
dan mencarinya dikala jiwa membutuhkan kedamaian.
Janganlah ada tujuan lain dari persahabatan,
kecuali saling memperkaya jiwa..

Konselor saya pernah mengatakan kalau saya ini sudah membangun tembok pelindung. Tembok itu saya bangun sedikit demi sedikit dan akhirnya menjadi sangat tinggi sampai saya terkurung didalamnya. Batu bata penyusun tembok itu adalah potongan-potongan rasa kecewa. Dan siapa bisa menyecewakan saya? Tentulah banyak, termasuk orang-orang yang kepadanya saya sudah memberi predikat istimewa, sebagai sahabat. Meski pada akhirnya saya harus koreksi sendiri kalau predikat itu saya berikan terlalu cepat. Mereka punya urusan masing-masing dan tentu punya kepentingan sendiri ketika berhubungan dengan saya. Saya membangun tembok dan sayangnya hanya saya yang bisa merubuhkan tembok itu. Bagaimana cara merubuhkannya? Sama seperti saya tidak bisa memarahi setiap orang yang membahayakan saya ketika berkendara di jalan, begitu semestinya. Saya terganggu, saya marah, saya kecewa, tapi saya hanya bisa menganggapnya sebagai gangguan kecil karena perjalanan harus terus dilanjutkan.

Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran. (Amsal 17:17)