Rabu, 31 Agustus 2011

Journey, day 97


Tak banyak yang saya lakukan diliburan kali ini. Hanya tinggal di rumah, memasak, menyambut tamu, membuka internet dan yang pasti membaca. Ketika kakak saya menyodorkan sebuah buku sebelum dia berangkat liburan, saya tidak begitu antusias. Sebenarnya saya lebih tertarik untuk membawa majalah-majalah fotografi miliknya. Saya merasa kurang antusias karena buku itu berupa graphic novel atau lebih tepatnya berupa komik, terlalu ringan untuk saya. Anthony de Mello, okelah.. Saya cukup familiar dengan nama itu dan saya membawanya pulang. Buku yang didesain untuk menjadi bahan perenungan itu saya baca dalam waktu sehari. Setelah membacanya saya malah bersyukur karena buku itu dibuat dalam bentuk komik. Sekarangpun saya memahami mengapa buku itu diberi judul ”Kicauan Burung”.
Beberapa bagian buku itu membuat saya tersenyum dan bahkan tertawa geli. Tapi dibagian yang lain, sayapun bisa tertunduk sedih. Saya geli karena sering kali hanya dengan sedikit pengetahuan, saya bisa merasa pakar disuatu bidang. Saya juga sering merasa paling benar dan sulit menerima masukan orang lain. Seseorang sering marah kepada saya karena sering kali saya meminta pendapatnya tapi saya mengambil jalan saya sendiri. Saya sudah membuat dia berpikir untuk saya tapi kemudian saya mengabaikannya. Sedihnya, saya melakukannya diluar kesadaran dan berulang-ulang..
De Mello membantu saya untuk lebih aware dengan kekinian. Saya sibuk dengan masa lalu yang tidak bisa saya ubah dan masa depan yang tidak bisa saya lihat. Saya melelahkan diri sendiri sehingga lupa untuk menikmati saat ini. Kesadaran akan keberadaan saya saat ini, akan membawa saya kepada kesadaran akan keberadaan Sang Khalik. Tuhan itu tidak jauh, saya bergerak, bernafas, berpikir, berkehendak di dalam Dia. Tapi sayangnya, saya malah berteriak-teriak ”Tuhan.. dimana Engkau?” Saya tidak buta, tidak tuli, tapi mata saya tidak mampu melihat dan telinga saya tidak mendengar. Karena saya membangun konsep sendiri tentang Tuhan, saya mau Tuhan seperti yang ada dalam benak saya. Tentunya dengan seluruh kriteria yang telah saya tetapkan. Saya tahu sekarang, kalaupun saya menemukannya, itu bukanlah Tuhan yang sesungguhnya. Benak saya ini terlalu kecil untuk bisa memuat Tuhan yang sebenarnya. Ketika saya berkunjung ke Tomohon, seorang teman bertanya apakah saya sempat ke Bukit Kasih? Saya jawab, ”Ya, saya ke Bukit Kasih tapi tidak naik sampai ke atas. Percuma saja berlelah-lelah mendaki bukit terjal hanya untuk menjumpai salib yang palsu”. Memang ada salib besar terbuat dari keramik di puncak bukit itu. Jawaban saya yang bercanda itu sebenarnya menggambarkan perjalanan rohani yang sedang saya tempuh. Saya tidak ingin berlelah-lelah hanya untuk menjumpai kebenaran yang bukan kebenaran yang sesungguhnya. Saya mau hasil perjalanan ini worthed dengan kerja keras saya dalam menjalaninya.
Untuk orang yang terus mempertanyakan eksistensi Tuhan dan responNya terhadap setiap hal buruk di dunia ini, de Mello menyamakannya dengan bayi yang menangis. Apa yang bisa dilakukan untuk orang yang seperti ini? ”Paling baik dibiarkan saja. Ia sedang mengalami tahap pencarian dan pertumbuhan.” Kalau si bayi sudah berhenti menangis, Ia telah siap menerima kebenaran. Hemm.. Ada bayi yang sedang menangis dalam diri saya. Bayi yang menangis ketakutan karena baru menyadari kalau ia berada di tempat yang asing. Tapi tangis ketakutan itupun adalah sebuah indikasi, kalau si bayi siap menerima kebenaran. Ketika tangisan reda dan ketakutan hilang, semoga saya menemukan Iman saya kembali.
Saya bersyukur di dunia ini pernah hidup orang-orang seperti Anthony de Mello  yang dengan hati nuraninya yang tulus, berani menyingkapkan kebernaran. Menunjukkan kesalahan tapi dengan cara yang lembut dan penuh kasih. Meski untuk itu dia dianggap membahayakan dan dapat menimbulkan permasalahan besar. Dan sayapun sempat menaruh curiga terhadap kematiannya yang janggal. Hemm.. Rupaya buku ini akan masuk dalam daftar buku paling berpengaruh dalam hidup saya...

"Jalan kebenaran itu sempit. Anda selalu berjalan sendirian"
(Anthony de Mello)