Selasa, 24 Mei 2011

Journey, day 2


Tony Evans menuliskan ”Siapa pernah mengatakan kebenaran tetang dirimu?”. Saya  baru saja bertemu dengan orang yang berani mengatakan kebenaran tentang diri saya. Orang itu adalah seorang konselor profesional yang sangat mencintai Tuhan. Meski hanya sedikit yang diungkap tentang diri saya tapi itu sangat menyakitkan. Ada bagian dari diri saya yang tidak bisa menerima kebenaran itu. Kenapa? Karena saya selalu menganggap diri saya baik, tidak memiliki niat jahat dan telah memenuhi standar  Firman Tuhan. Saya selalu berusaha menyukakan hati Tuhan dan menggunakan setiap kesempatan untuk melayani orang lain. Saya bahkan pernah sampai pada satu titik bahwa saya puas dengan hidup saya dan siap dipanggil Tuhan kapan saja.
Konselor itu membantu saya masuk kedalam hati saya yang paling dalam, sampai saya bisa bertemu dengan diri saya yang sesungguhnya. Lapisan demi lapisan dibuka dan setiap fakta memancing rasa sakit yang tiada tara. Saya merasakan kegelapan dan kesendirian yang amat sangat. Saat itu rasanya seluruh alam raya bekerja sama untuk memusuhi saya. Tidak ada keberhasilan yang saya buat, tidak ada tempat untuk berpaling. Sebagai peneliti saya selalu memiliki proyek untuk dikerjakan, tapi kali ini tak satupun proposal saya diterima, dari yang bernilai $40.000 berskala internasioanal, 250.000.000 rupiah berskala nasional sampai 4.000.000 rupiah ditingkat terendah yang biasanya hanya diterima oleh peneliti-peneliti pemula tidak saya dapatkan. Harga diri saya dijatuhkan ke titik paling rendah dan saya tidak punya apapun yang bisa saya banggakan. Semua milik saya direnggut, tinggal diri saya sendiri berhadapan dengan Tuhan yang juga memusuhi saya.
Ternyata selama ini bingkai hidup saya adalah buatan saya sendiri. Saya mengukirnya sesuka saya. Respon saya terhadap kenyataan hidup dan semua peristiwa tergambar jelas disitu. Apakah bingkainya indah? Tidak sama sekali..! Apakah ada keindahan yang muncul dari sakit hati, kemarahan, kecewa, rasa tertolak, dan citra diri yang buruk? Apakah ada bangunan yang kokoh yang dibangun di atas pondasi yang rapuh? Apakah orang bisa bersandar kuat pada tembok yang nyaris rubuh? Itulah diri saya sebenarnya. Saya bisa menyimpulkan diri saya saat itu ”belongs nowhere”
Mari kita lihat Yesaya 6:5, ayat ini menunjukkan respon Yesaya ketika ia melihat Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang, dan ujung jubah-Nya memenuhi Bait Suci. Yesaya menyaksikan para Serafim berdiri di sebelah atas-Nya, masing-masing mempunyai enam sayap; dua sayap dipakai untuk menutupi muka mereka, dua sayap dipakai untuk menutupi kaki mereka dan dua sayap dipakai untuk melayang-layang. Dan mereka berseru seorang kepada seorang, katanya: "Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya!" Maka bergoyanglah alas ambang pintu disebabkan suara orang yang berseru itu dan rumah itupun penuhlah dengan asap. Lalu kata Yesaya: "Celakalah aku! aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni TUHAN semesta alam." Pertanyaan saya, siapakah yang sudah mengatakan kepada Yesaya tentang dirinya yang najis bibir? Dia menyebutkan dosanya secara spesifik sebagai seorang yang najis bibir. Bertemu dengan Tuhan seperti bercermin bagi Yesaya, dan pantulan sinar dalam cermin itu menghasilkan gambaran yang sebelumnya tak dapat dilihat secara kasat mata.
Yesaya menyebut dirinya celaka ketika berhadapan dengan Tuhan. Binasakah dia kemudian? Tentu tidak karena seorang dari pada Serafim itu terbang mendapatkan Yesaya; di tangannya ada bara, yang diambilnya dengan sepit dari atas mezbah. Ia menyentuhkannya kepada mulut Yesaya serta berkata: "Lihat, ini telah menyentuh bibirmu, maka kesalahanmu telah dihapus dan dosamu telah diampuni." Tuhan memulihkan bagian yang ditemukan berdosa dengan menggunakan bara. Tidak dijelaskan apakah ketika disentuh dengan bara itu Yesaya merasa kesakitan? Pada kenyataannya tidak ada proses pemurnian yang tidak menyakitkan terutama berdasarkan pengalaman saya pribadi.
Bagi saya, setelah bisa melihat gambaran diri yang sesungguhnya sayapun mengalami proses pemurnian, hidup saya ditata kembali. Kegelapan dan kesendirian tidak selamanya karena malam gelap berubah jadi rembang pagi dan pagi jadi siang terang. Dan dalam keadaan terang saya bisa melihat semua dengan jelas termasuk bingkai hidup saya yang telah diperbarui. Terimakasih untuk para sahabat yang setia mendampingi bahkan rela berperang bagi saya dalam doa dan puasa. Tuhan memberkati hidup kita semua.

Semakin kita mengenal Tuhan, semakin kita mengenal diri kita sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar